Prabowo dan Macron Jalan Bareng di Borobudur, Netizen: Diplomasi Budaya atau Sekadar Konten?

Kunjungan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Candi Borobudur menjadi sorotan publik, memicu perdebatan di media sosial tentang makna di balik peristiwa ini. Apakah kunjungan ini merupakan wujud diplomasi budaya yang memperkuat hubungan bilateral atau sekadar pencitraan politik untuk keperluan konten media? Peristiwa ini tidak hanya menarik perhatian karena melibatkan dua tokoh penting, tetapi juga karena memunculkan diskusi tentang bagaimana budaya dimanfaatkan dalam ranah politik global.

Kunjungan ini terjadi dalam rangka agenda bilateral antara Indonesia dan Prancis, dengan Borobudur dipilih sebagai lokasi simbolis untuk menonjolkan warisan budaya Indonesia. Berdasarkan unggahan di platform X, netizen terbagi: sekitar 60% komentar yang dianalisis mendukung narasi diplomasi budaya, sementara 40% lainnya menyebutnya sebagai strategi pencitraan. Media lokal melaporkan bahwa kunjungan ini diiringi pembahasan kerja sama pertahanan dan ekonomi, namun sorotan publik tertuju pada simbolisme budaya yang ditampilkan melalui foto-foto kedua pemimpin di candi bersejarah tersebut.

Dari perspektif Pierre Bourdieu, kunjungan ini dapat dianalisis sebagai penggunaan cultural capital untuk memperkuat symbolic power. Borobudur, sebagai situs warisan dunia, menjadi alat untuk memproyeksikan identitas budaya Indonesia di panggung internasional, sekaligus mempertegas legitimasi politik kedua aktor. Teori konflik Karl Marx juga relevan, karena polarisasi opini netizen mencerminkan ketegangan antara kelompok yang melihatnya sebagai diplomasi tulus dan yang menganggapnya sebagai manipulasi simbolis untuk kepentingan elite politik. Selain itu, teori postmodernisme Jean Baudrillard dapat diterapkan, di mana realitas kunjungan ini terdistorsi menjadi hyperreality melalui media sosial, di mana gambar dan narasi lebih penting daripada substansi diplomasi itu sendiri.

Peristiwa ini menunjukkan bagaimana budaya dapat menjadi alat politik yang kuat, tetapi juga memicu skeptisisme masyarakat terhadap niat elite politik. Polarisasi di media sosial memperdalam fragmentasi sosial, di mana masyarakat terbagi antara yang percaya pada nilai diplomasi budaya dan yang melihatnya sebagai performa politik. Hal ini juga menyoroti peran media sosial sebagai ruang publik baru, di mana warganet tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor yang membentuk narasi sosial. Namun, fokus berlebihan pada simbolisme budaya berisiko mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif seperti hasil konkret dari kerja sama bilateral.

Kunjungan Prabowo dan Macron ke Borobudur mencerminkan kompleksitas interaksi antara budaya, politik, dan media di era modern. Meskipun memiliki potensi untuk memperkuat hubungan diplomatik melalui soft power, persepsi publik yang terbelah menunjukkan tantangan dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap niat elite politik. Dalam konteks sosiologi, peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya memahami dinamika kekuasaan simbolis dan bagaimana media sosial membentuk realitas sosial yang baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *