Analisis Sosiologi Mengenai Kesetaraan Gender di Dunia Kerja: Apakah Wanita Masih Terpinggirkan?

Kesetaraan gender di dunia kerja telah menjadi isu yang terus diperjuangkan dalam berbagai sektor dan negara. Meskipun telah terjadi kemajuan signifikan, perempuan masih menghadapi berbagai hambatan yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam banyak aspek pekerjaan. Hambatan tersebut mencakup kesenjangan upah, keterbatasan akses terhadap posisi kepemimpinan, stereotip gender, serta ketidakseimbangan tanggung jawab domestik yang sering kali masih dibebankan lebih besar kepada perempuan. Perspektif sosiologi membantu menganalisis bagaimana ketidaksetaraan ini terjadi dan bagaimana struktur sosial, norma budaya, serta kebijakan ekonomi memengaruhi kondisi perempuan di dunia kerja.

Dalam pandangan teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx dan dikembangkan lebih lanjut dalam feminisme Marxis, ketidaksetaraan gender di dunia kerja dipandang sebagai bagian dari sistem kapitalisme yang mengeksploitasi tenaga kerja perempuan dengan memberikan mereka upah lebih rendah dan akses terbatas pada jabatan strategis. Kapitalisme mempertahankan stratifikasi gender sebagai cara untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu, di mana laki-laki sering kali lebih diuntungkan dalam struktur hierarki perusahaan. Sementara itu, perspektif struktural-fungsionalisme yang dikembangkan oleh Talcott Parsons melihat peran gender sebagai sesuatu yang telah terbentuk secara fungsional dalam masyarakat, meskipun teori ini banyak dikritik karena dianggap melanggengkan ketimpangan gender. Perempuan secara tradisional dianggap lebih cocok dalam peran domestik atau pekerjaan yang berorientasi pada perawatan, sementara laki-laki lebih didorong ke arah peran kepemimpinan dan pekerjaan yang lebih kompetitif.

Namun, perubahan sosial yang semakin pesat menunjukkan bahwa perempuan telah mampu menembus berbagai sektor yang sebelumnya didominasi laki-laki, seperti sains, teknologi, politik, dan bisnis. Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi hambatan sistemik, seperti bias dalam proses rekrutmen dan promosi, ketidakseimbangan dalam pemberian kesempatan pelatihan, serta ekspektasi sosial yang menganggap perempuan sebagai pengurus rumah tangga utama. Dalam banyak kasus, perempuan yang berada di posisi tinggi sering kali menghadapi fenomena “glass ceiling” atau langit-langit kaca, yaitu hambatan tidak terlihat yang menghalangi mereka untuk mencapai puncak kepemimpinan. Selain itu, mereka juga mengalami “double burden” atau beban ganda, di mana mereka harus menyeimbangkan antara karier dan tanggung jawab domestik tanpa adanya dukungan struktural yang memadai, seperti kebijakan cuti melahirkan yang adil atau fasilitas penitipan anak yang terjangkau.

Dari perspektif teori sistem, ketidaksetaraan gender di dunia kerja bukan hanya masalah individu tetapi juga hasil dari interaksi berbagai elemen dalam masyarakat, termasuk kebijakan pemerintah, budaya perusahaan, norma sosial, dan peran media dalam membentuk persepsi tentang perempuan di dunia profesional. Perubahan menuju kesetaraan gender tidak hanya memerlukan perubahan pada tingkat individu, tetapi juga reformasi dalam regulasi ketenagakerjaan, penerapan kebijakan afirmatif, serta pergeseran norma sosial yang lebih mendukung perempuan dalam dunia kerja. Upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, komunitas akademik, dan masyarakat sipil, sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan inklusif bagi perempuan. Tanpa langkah-langkah sistemik yang nyata, kesetaraan gender di dunia kerja akan tetap menjadi wacana tanpa realisasi yang signifikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *