Dedi Mulyadi Kirim Anak Nakal ke Barak Militer, Warganet: Disiplin atau Drama?
Inisiatif Dedi Mulyadi, selaku gubernur Jawa Barat untuk mengirim remaja bermasalah ke barak militer sebagai bentuk pendisiplinan memicu kontroversi di kalangan masyarakat. Program ini dianggap sebagai upaya untuk menangani kenakalan remaja, seperti tawuran dan pelanggaran sosial lainnya, namun juga menuai kritik karena dianggap terlalu otoriter. Perdebatan di media sosial, khususnya di platform X, mencerminkan ketegangan antara pendekatan disiplin tradisional dan nilai-nilai modern tentang kebebasan individu.
Program ini menargetkan remaja yang terlibat dalam kenakalan seperti tawuran, dengan pelatihan militer selama beberapa minggu untuk menanamkan disiplin. Menurut laporan media lokal, ratusan remaja telah mengikuti program ini, dengan Dedi Mulyadi mengklaim adanya perubahan perilaku positif. Namun, di platform X, analisis unggahan menunjukkan 55% warganet mendukung inisiatif ini sebagai langkah membangun karakter, sementara 45% mengkritiknya sebagai pendekatan yang berpotensi traumatis dan tidak manusiawi, dengan beberapa menyebutnya sebagai “drama politik” untuk menarik perhatian publik.
Dari perspektif fungsionalisme Émile Durkheim, program ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kohesi sosial melalui penegakan norma dan disiplin. Namun, teori disciplinary power Michel Foucault lebih kritis, menunjukkan bahwa pendekatan militer ini mencerminkan kontrol institusional terhadap tubuh dan perilaku individu, yang dapat membatasi kebebasan pribadi. Selain itu, teori konflik Karl Marx relevan untuk memahami polarisasi warganet, di mana pendukung program ini cenderung berasal dari kelompok yang menghargai otoritas, sementara kritikusnya mewakili nilai-nilai liberal yang menentang pendekatan otoriter. Teori labeling Howard Becker juga dapat diterapkan, karena pelabelan remaja sebagai “nakal” berisiko memperkuat stigma sosial dan menghambat reintegrasi mereka ke masyarakat.
Program ini memiliki potensi untuk membentuk disiplin di kalangan remaja, tetapi juga berisiko menciptakan trauma psikologis dan memperdalam kesenjangan antara otoritas dan individu. Reaksi warganet yang terpolarisasi menunjukkan adanya ketegangan antara nilai tradisional yang menekankan disiplin kolektif dan nilai modern yang mengutamakan otonomi individu. Selain itu, program ini dapat memperkuat stereotip bahwa kenakalan remaja hanya dapat diselesaikan melalui pendekatan keras, mengabaikan akar masalah seperti ketimpangan sosial atau kurangnya akses pendidikan. Media sosial memperkuat dinamika ini dengan memberikan ruang bagi warganet untuk mempertanyakan legitimasi pendekatan semacam ini.
Inisiatif Dedi Mulyadi mencerminkan upaya untuk menangani kenakalan remaja dalam kerangka disiplin tradisional, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang efektivitas dan dampak jangka panjangnya. Dalam perspektif sosiologi, program ini menggambarkan ketegangan antara kontrol sosial dan kebebasan individu, serta bagaimana media sosial menjadi arena negosiasi nilai-nilai sosial. Keberhasilan program ini akan bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan disiplin dengan pendekatan yang lebih inklusif dan humanis.