Analisis Sosiologi Mengenai Urbanisasi Pascapandemi: Fenomena Lonjakan Migrasi dan Dampaknya pada Struktur Sosial Perkotaan

Pasca pandemi COVID-19, urbanisasi kembali mengalami lonjakan signifikan. Banyak individu dan keluarga dari pedesaan berbondong-bondong menuju kota, berharap menemukan peluang kerja, pendidikan, dan akses layanan yang lebih baik. Fenomena ini memperlihatkan keterkaitan erat antara kebutuhan ekonomi, teknologi, dan dinamika sosial yang mendorong mobilitas penduduk. Namun, migrasi massal ini juga menimbulkan tantangan besar bagi struktur sosial perkotaan.

Dari sudut pandang teori Struktural-Fungsionalisme (Talcott Parsons), urbanisasi dapat dipahami sebagai proses adaptasi sosial dalam masyarakat yang terus berkembang. Kota berfungsi sebagai pusat pertukaran sumber daya, inovasi, dan peluang ekonomi. Lonjakan migrasi dapat dianggap sebagai respons individu terhadap perubahan fungsi ekonomi di pedesaan yang melemah akibat pandemi. Namun, jika sistem sosial di perkotaan tidak mampu menampung pertumbuhan penduduk, disfungsi sosial seperti kemacetan, kriminalitas, dan pemukiman kumuh dapat meningkat.

Sementara itu, teori Konflik Sosial (Karl Marx) memberikan perspektif berbeda. Lonjakan migrasi ke kota dapat memperburuk kesenjangan kelas sosial. Para migran sering kali terjebak dalam pekerjaan berupah rendah, tanpa jaminan sosial, dan akses minim ke perumahan layak. Konflik antara kelas pekerja migran dan elite ekonomi kota semakin tajam, menciptakan ketegangan yang dapat memicu protes atau gerakan sosial baru.

Lebih lanjut, teori Interaksionisme Simbolik (George Herbert Mead) menyoroti bagaimana urbanisasi memengaruhi identitas sosial dan hubungan antarindividu. Migrasi ke kota memaksa individu untuk beradaptasi dengan norma, budaya, dan nilai-nilai baru. Namun, stigma terhadap migran sering kali muncul, memperumit proses integrasi sosial.

Secara keseluruhan, urbanisasi pascapandemi menghadirkan peluang sekaligus tantangan besar. Kota perlu mengembangkan kebijakan yang inklusif untuk mengintegrasikan pendatang baru ke dalam struktur sosial, memperbaiki layanan publik, dan memastikan pemerataan akses terhadap sumber daya. Dengan demikian, lonjakan migrasi dapat menjadi motor penggerak pembangunan sosial, bukan pemicu konflik atau disfungsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *