Analisis Sosiologi mengenai Kelangkaan BBM di Bengkulu, Ketimpangan Akses Energi dan Dampaknya pada Mobilitas Sosial Masyarakat
Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di Provinsi Bengkulu, yang melanda sembilan kabupaten dan terparah di Kota Bengkulu, telah menciptakan krisis yang mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat. Antrean kendaraan yang mencapai lebih dari 2 km di setiap SPBU dan harga pertalite di pengecer di Kabupaten Seluma yang melonjak hingga Rp80.000 per liter menunjukkan dampak serius dari krisis ini. Penyebab utama adalah pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai, yang menghambat distribusi BBM oleh Pertamina. Krisis ini tidak hanya masalah logistik, tetapi juga mengungkap ketimpangan struktural dalam akses energi, yang berdampak pada mobilitas sosial masyarakat, terutama di daerah pedesaan.
Kelangkaan BBM melanda sembilan kabupaten di Bengkulu, termasuk Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, Kaur, dan Bengkulu Tengah, dengan Kota Bengkulu mengalami dampak terparah, ditandai dengan antrean kendaraan lebih dari 2 km di SPBU seperti SPBU Tebeng. Menurut laporan media, harga pertalite di pengecer di Seluma mencapai Rp80.000 per liter, jauh di atas harga resmi, membebani masyarakat kecil seperti petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Pendangkalan alur pelayaran di Pelabuhan Pulau Baai, yang telah berlangsung hampir dua bulan, membuat kapal tanker BBM tidak dapat bersandar, memaksa Pertamina mengalihkan distribusi melalui jalur darat dari provinsi tetangga seperti Sumatera Selatan dan Lampung. Distribusi darat ini memakan waktu lebih lama (12-26 jam perjalanan) dan memiliki biaya operasional tinggi, menyebabkan pasokan terbatas dan keterlambatan pengiriman hingga 7-14 hari untuk pengusaha Pertashop. Gubernur Bengkulu Helmi Hasan menyatakan bahwa masalah ini tidak hanya disebabkan pendangkalan, tetapi juga kurangnya kuota BBM, dengan rencana untuk meminta tambahan kuota kepada pemerintah pusat.
Dalam perspektif Karl Marx, kelangkaan BBM ini mencerminkan class struggle, di mana ketimpangan akses energi memperparah kesenjangan antara masyarakat urban yang lebih mudah mendapat pasokan dan masyarakat pedesaan yang terpinggirkan, terutama di kabupaten seperti Seluma. Teori social exclusion relevan, karena keterbatasan akses BBM menghambat mobilitas sosial masyarakat pedesaan, yang bergantung pada bahan bakar untuk transportasi hasil pertanian atau akses ke pasar kota, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai kelompok marginal. Teori dependency Immanuel Wallerstein juga berlaku, karena ketergantungan Bengkulu pada distribusi BBM dari pusat (Pelabuhan Pulau Baai) atau provinsi tetangga menunjukkan struktur ketimpangan regional yang memperlemah daerah perifer seperti Bengkulu. Selain itu, teori rationalization Max Weber dapat diterapkan untuk mengkritik inefisiensi sistem distribusi Pertamina, yang gagal mengantisipasi pendangkalan pelabuhan dan mengelola pasokan secara efektif, memperburuk krisis.
Kelangkaan BBM di sembilan kabupaten, terutama di Kota Bengkulu dan Seluma, memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi, dengan masyarakat pedesaan dan kelompok ekonomi lemah seperti petani dan nelayan menjadi yang paling terdampak. Harga pertalite Rp80.000 per liter di Seluma membuat biaya hidup melonjak, menghambat aktivitas ekonomi seperti distribusi hasil panen, yang pada gilirannya membatasi akumulasi modal dan peluang kenaikan kelas sosial. Antrean panjang lebih dari 2 km di SPBU menunjukkan tekanan sosial yang signifikan, dengan potensi memicu kemacetan dan ketegangan antarwarga. Krisis ini juga memunculkan ketidakpercayaan terhadap institusi seperti Pertamina dan pemerintah daerah, yang dianggap lambat menangani masalah. Namun, tekanan dari masyarakat, seperti desakan DPRD Seluma untuk solusi cepat, menunjukkan potensi mobilisasi sosial untuk mendorong kebijakan yang lebih adil, meskipun solusi jangka panjang seperti pengerukan pelabuhan masih tertunda.
Kelangkaan BBM di Bengkulu, yang dipicu pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai, mengungkap kerentanan struktural dalam sistem distribusi energi dan dampaknya terhadap mobilitas sosial, terutama di daerah pedesaan. Dalam lensa sosiologi, krisis ini mencerminkan ketimpangan kelas dan ketergantungan regional yang memperparah marginalisasi masyarakat kecil. Upaya mitigasi Pertamina melalui distribusi darat dan rencana pengerukan pelabuhan menunjukkan langkah awal, tetapi solusi jangka panjang memerlukan peningkatan kuota BBM dan perbaikan infrastruktur. Ke depan, diperlukan kebijakan inklusif untuk memastikan akses energi yang adil, agar masyarakat di sembilan kabupaten, termasuk pedesaan, dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial tanpa hambatan.