Analisis Sosiologi Mengenai Generasi “Quarter Life Crisis”: Apakah Anak Muda Zaman Sekarang Benar-Benar Lebih Rentan Stres?

Fenomena “quarter life crisis” atau krisis seperempat usia semakin menjadi topik hangat di kalangan anak muda Indonesia. Banyak di antara mereka yang merasa kebingungan atau tertekan pada usia 20-an hingga 30-an. Perasaan cemas terhadap masa depan, pekerjaan, dan hubungan menjadi hal yang umum. Ketidakpastian yang disebabkan oleh perubahan sosial dan ekonomi yang pesat membuat anak muda merasa semakin sulit untuk menemukan tujuan hidup yang jelas. Tekanan untuk berhasil dan mencapainya dalam waktu yang singkat, yang dipicu oleh media sosial, membuat mereka merasa tidak sesuai dengan ekspektasi sosial yang ada. Banyak yang merasa tertinggal, bahkan gagal, karena tidak mencapai standar kesuksesan yang tampaknya mudah dijangkau bagi orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa krisis identitas atau ketidakpuasan ini menjadi semakin nyata di kalangan generasi muda.

Pendekatan sosiologis terhadap fenomena ini dapat menggunakan teori fungsionalisme dari Émile Durkheim, yang menyatakan bahwa individu memerlukan peran sosial yang jelas agar dapat berfungsi dalam masyarakat dengan baik. Ketika harapan sosial tidak dapat dipenuhi atau terjadi ketidaksesuaian antara harapan masyarakat dan kenyataan yang dihadapi individu, maka muncul ketegangan yang bisa menimbulkan stres. Ketidakpastian mengenai peran sosial yang diharapkan dalam kehidupan modern menjadi pemicu bagi terjadinya quarter life crisis. Teori konflik juga dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa perasaan tertekan ini muncul sebagai akibat dari ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang semakin kentara di masyarakat, yang menuntut individu untuk bertahan hidup dalam sistem yang tidak setara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *