Analisis Sosiologi Mengenai Budaya Konsumtif di Era Digital: Tren atau Kebutuhan?

Budaya konsumtif di era digital telah menjadi fenomena sosial yang semakin kuat, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, media sosial, serta perubahan dalam cara individu berinteraksi dengan barang dan jasa. Dalam konteks ini, pertanyaan utama yang muncul adalah apakah perilaku konsumtif yang terjadi saat ini lebih bersifat tren sementara atau benar-benar telah menjadi kebutuhan baru dalam kehidupan masyarakat modern. Pendekatan mikro sosiologi, terutama melalui teori interaksionisme simbolik, dramaturgi, etnometodologi, dan teori labeling, dapat membantu memahami bagaimana individu membentuk makna terhadap konsumsi serta bagaimana interaksi sosial memengaruhi pola belanja dan gaya hidup di era digital.

Dari perspektif interaksionisme simbolik, budaya konsumtif bukan sekadar tindakan membeli barang, tetapi juga merupakan proses sosial di mana individu memberi makna terhadap produk dan gaya hidup tertentu. Setiap barang yang dibeli memiliki simbol yang berkontribusi terhadap identitas sosial seseorang. Misalnya, memiliki produk dengan merek tertentu sering kali dikaitkan dengan status sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai tertentu yang ingin ditampilkan kepada orang lain. Media sosial memperkuat proses ini dengan menciptakan ruang bagi individu untuk memamerkan konsumsi mereka, mempertegas simbol status melalui unggahan di platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube. Dalam konteks ini, konsumsi tidak lagi hanya tentang kebutuhan fungsional, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun dan menampilkan identitas sosial seseorang kepada lingkungan sekitarnya.

Teori dramaturgi dari Erving Goffman memberikan wawasan lebih lanjut tentang bagaimana individu memainkan peran mereka dalam budaya konsumtif. Dalam kehidupan digital, individu secara aktif mengelola citra diri mereka di “panggung depan,” yaitu media sosial atau ruang publik di mana mereka menunjukkan versi terbaik dari diri mereka, termasuk dalam hal gaya hidup dan konsumsi. Misalnya, seseorang mungkin membeli barang mahal atau mengikuti tren fashion tertentu bukan hanya karena kebutuhan pribadi, tetapi karena ingin menampilkan citra tertentu kepada audiens mereka. Di sisi lain, di “panggung belakang,” individu mungkin menghadapi tekanan ekonomi atau kecemasan finansial akibat tuntutan konsumsi yang terus meningkat. Dengan demikian, konsumsi di era digital sering kali bukan hanya didorong oleh kebutuhan riil, tetapi juga oleh keinginan untuk menjaga citra sosial yang telah dibangun.

Pendekatan etnometodologi yang dikembangkan oleh Harold Garfinkel membantu memahami bagaimana individu menafsirkan norma konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Setiap kelompok sosial memiliki aturan tidak tertulis mengenai bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dalam konsumsi, mulai dari bagaimana memilih produk, merek yang dianggap “prestisius,” hingga bagaimana mengunggah pengalaman konsumtif di media sosial. Fenomena seperti “unboxing video” atau “haul belanja” menjadi bagian dari praktik sosial yang mengajarkan bagaimana individu harus bersikap sebagai konsumen di era digital. Praktik ini memperkuat norma bahwa konsumsi bukan hanya tentang membeli barang, tetapi juga tentang bagaimana barang tersebut dipresentasikan kepada orang lain.

Selain itu, teori labeling juga berperan dalam memahami bagaimana budaya konsumtif terbentuk dan dipertahankan. Individu yang mengikuti tren konsumsi tertentu sering kali diberi label sebagai “influencer,” “fashionable,” atau “berkelas,” sedangkan mereka yang tidak mengikuti tren bisa dianggap “kurang update” atau “ketinggalan zaman.” Label ini menciptakan tekanan sosial yang membuat individu terdorong untuk terus mengonsumsi agar tetap relevan dalam kelompok sosial mereka. Merek dan perusahaan juga menggunakan strategi ini dengan menciptakan eksklusivitas pada produk mereka, membuat konsumen merasa perlu memiliki barang tertentu agar dapat masuk dalam kelompok sosial tertentu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *